Senin, 17 Mei 2010

PERCEPATAN PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA PERSPEKTIF KEBIJAKAN PERTANAHAN

1. Isu Utama Penanaman Modal :
• Adanya kebutuhan penyediaan lahan yang memadai dengan biaya terjangkau
Ketersediaan tanah amat penting mengingat fakta bahwa sebagian besar tanah telah dikuasai oleh rakyat, badan hukum, institusi dengan berbagai jenis hak atas tanah dalam pemanfaatan yang sangat beragam.
• Kebijakan pertanahan harus mendukung dan menawarkan lingkungan yang bersahabat bagi investor untuk menanamkan modalnya. Termasuk prosedur-prosedur aturan yang jelas, adminstrasi yang efektif dan proses-proses yang transaparan dalam ; pemberian ijin lokasi, penetapan hak tanah dab penyediaan tanah untuk kegiatan usaha.
• Jangka waktu hak atas tanah yang sesuai dengan kebutuhan dan kehidupan investasi ekonomi.
2. Penggunaan Tanah di Indonesia (2006)
Luas ± 190,923 juta Ha. 70.8 juta Ha (37.1%) telah dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan sperti sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, non pertanian (permukiman, industri, pertambangan dan sebagainya). Sekitar 120.2 juta Ha (62.9%) masih berupa hutan (Hutan hujan, semak dan lain-lain).
3. Penggunaan Tanah Eksisting berdasarkan Rencana Tata Ruang.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Provinsi, dari 192 juta Ha tanah nasional, 67 juta Ha (35%) dialokasikan sebagai kawasan lindung dan sisanya sekitar 123 juta Ha (65%) tersedia untuk ditanami. Tapi, setelah ditumpangtindihkan dengan peta penatagunaan tanah, ditemukan bahwa 57.74% dari area tanam masih berupa hutan. Secara singkat. Sekitar 12 juta Ha (18%) dari kawasan lindung telah digunakan untuk berbagai aktivitas.


4. Penatagunaan Tanah, prinsip dasar
Pemerintah membuat Rencana Tata Ruang sebgai instrumen menuju penataan sumberdaya lahan yang lebih efektif dan efisien. Dan pemerataan pembangunan, peluang penanaman modal dan produksi.
Penerapan Rencana Tata Ruang sedapat mungkin dilakukan melalui Rencana Penatagunaan Tanah dengan mempertimbangkan Penatagunaan Tanah Eksisting, termasuk aspek hukum dari hak dan pemilikan tanah, fungsi sosial tanah.
 Penguasaan tanah harus berdasarkan kepada mekanisme perijinan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang
 Penatagunaan Tanah eksisting disesuaikan melalui penataan Penatagunaan Tanah dan Pemulihan Tanah sedemikian rupa sehingga Penatagunaan Tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
 Pemberian Hak atas tanah melalui proses pendaftaran tanah dapat dimungkinkan bila cara pandang Penatagunaan Tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
 Dalam pelaksanaannya, kegiatan pengawasan dan kontrol pemanfaatan tanah dapat dilakukan untuk mengetahui dan mengukur apakah penerapannya sejalan dengan perencanaan atau melenceng dari tujuan penggunaannya.
5. Kebijakan Pertanahan
Dasar-dasar kebijakan pertanahan diuraikan dalan UUD 1945, pasal 33 ayat 3 yang menjelaskan bahwa bumi, air, dan ruang termasuk segala sumberdaya alam di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) memeberi kewenangan kepada pemerintah untuk :
1. Membuat rencana umum yang mengatur perencanaan, penyediaan dan penggunaan tanah untuk berbagai kepentingan pembangunan.
2. Menentukan dan mengatur asa hukum pertanahan
3. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara manusia, badan hukum dan perbuatan hukum yang berhubungan dengan pertanahan.
Setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial, yang berarti walaupun pemilik tanah berhak untuk menggunakannya, penggunaannya tidak boleh merugikan orang lain serta tidak berlawanan dengan kepentingan bangsa dan negara.
Pemilik tanah berkewajiban untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan rencana, serta memelihara tanah, fungsi, kesuburan dan kualitasnya. Bila tidak sesuai aturan tersebut, maka dapat berakibat kehilangan hak atas tanahnya.
Dimana terdapat kepentingan publik, tanah dengan hak tanah apapun dapat dikuasai oleh pemerintah dengan ganti rugi yang adil kepada pemiliknya.
Pemilikan dan penguasaan tanah yang berlebihan tidak diperbolehkan. Tanah yang melebihi batas maksimal akan diambil kembali oleh negara dengan ganti rugi yang memadai dan akan dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
6. Untuk memfasilitasi investasi, Penanaman Modal Asing (PMA) khususnya, penguasaan tanah dengan jangka waktu yang lebih panjang telah dimungkinkan melalui Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Menurut peraturan itu, memungkinkan diperpanjang dan atau diperbarui. Untuk periode tambahan dengan syarat bahwa tanah tersebut masih digunakan dengan semestinya dan tidak melenceng dari tujuan pemanfaatannya.
7. Para pemegang hak diwajibkan untuk menggunakan tanah, menjaga kesuburannya, berkomitmen pada peraturan-peraturan lingkungan hidup.
Peraturan Presiden No. 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional Pertanahan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan beberapa kebijakan pertanahan nasional, antara lain :
1. Menyediakan tanah untuk kepentingan pengembangan usaha
2. Pemberian ijin lokasi
3. Pemecahan permasalahan pertanahan perunahan liar
4. Menangani masalah-masalah
5. Menentukan obyek dan subyek reforma agraria
6. Menentukan dan memecahkan masalah hak
7. Memecahkan masalah lahan terbengkalai
8. Pemberian ijin pemanfaatan lahan untuk pertama kali
9. Menyiapkan Perencanaan Penggunaan Tanah untuk wilayah Kabupaten/Kota
Kebijakan ini diharapkan mempercepat proses investasi, sehingga menempatkan pelayanan publik lebih dekat dengan komunitas usaha.

Proses Penguasaan Tanah yang Transparan dan Terpercaya
Untuk mendukung investasi, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang Pembebasan Tanah untuk pembangunan, yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2004 Jo. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006.
Kebijakan ini ditujukan untuk menyederhanakan prosedur pembebasan tanah untuk fasilitas umum,yaitu :
- Dibentuk Panitia Penilaian Independen yang lebih independen dan efektif daripada team bentukan pemerintah di masa lalu.
- Kerangka waktu yang jelas dalam pendaftaran tanah. Proses untuk menentukan besarnya kompensasi tidak akan melebihi 120 hari sejak kunjungan pertama.
- Proses pendaftaran yang lebih mudah. Panitia pendaftaran tanah akan mendampingi investor dalam melakukan survei dan investasi pemilik tanah, status hukum tanah, besarnya ganti rugi, tatap muka dengan masyarakat, menyaksikan pemberian kompensasi, menyiapkan waktu pelepasan tanah, dan pengadministrasian dan mendokumentasikan semua laporan pembebasan tanah.
Proses Sederhana untuk Perolehan Hak Atas Tanah
Untuk meningkatkan pelayanan publik, Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan telah diberi kewenangan lebih luas dalam batasan tertentu untuk memberikan Hak Atas Tanah.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Standar Prosedur Operasional Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) Pertanahan BPN mengatur standar mengenai jenis hak, persyaratan, biaya, jangka waktu penyelesaian dan prosedur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
SPOPP dievaluasi dan diperbaharui agar lebih mudah diterapkan, lebih sederhana, jelas dan mudah dipahami. Dengan skema baru ini, diharapkan kunjungan pemohon dalam melengkapi pelayanan hanya terdiri dari tiga tahap, yaitu : mencari informasi, mengisi formulir aplikasi, kelengkapan dokumen serta biaya yang disepakati, dan untuk mengambil hasilnya.

KAJIAN TENTANG PENUNJUKKAN RIAU SEBAGAI PUSAT PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT

Memenuhi permintaan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI untuk mengkaji kemungkinan penunjukkan Riau Sebagai Pusat Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit sesuai Surat Sekretaris Kabinet RI Nomor B.585/Seskab/VIII/2009, tanggal 26 Agustus 2009 tentang penunjukkan Riau Sebagai Pusat Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit maka disampaikan pokok-pokok kajian dengan sistimatika sebagai berikut :

• Gambaran Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Perkebunan Sawit
• Pengembangan Klaster Industri Perkebunan Sawit
• Tinjauan Aspek Pertanahan dalam Pengembangan Klaster Industri Perkebunan Kelapa Sawit

A. Gambaran Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Untuk Perkebunan Sawit

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di pulau Sumatera dengan luas 8.975.785 hektar yang berpotensi terbesar dalam pengembangan tanaman kelapa sawit. Secara berurutan areal perkebunan kelapa sawit yang terluas terdapat di Provinsi Riau yaitu sekitar 28%, di provinsi Sumatera Selatan sebesar 18 % di Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Sumatera Utara sebesar 15 %, di provinsi Jambi sebesar 14%, di Provinsi Sumatera Barat sebesar 8%, di Provinsi NAD sebesar 7%, dan di Provinsi Bengkulu yang paling kecil berpotensi untuk pekebunan kelapa sawit sekitar 5%.

Kondisi penggunaan tanah perkebunan kelapa sawit di provinsi Riau sesuai hasil analisa neraca penatagunaan tanah provinsi tahun 2007 adalah seluas 1.514.902, 86 hektar atau sebesar 5,92 % dari luas penggunaan tanah Provinsi yang tersebar di seluruh Kabupaten. Penggunaan tanah kelapa sawit existing terluas berada di Kabupaten Kampar (30,68 %) dan terendah di Kota Pekan Baru (0,82 %). Kemudian penggunaan tanah kelapa sawit existing diikuti oleh Kabupaten Siak (17,67%) dan Kabupaten Pelalawan (17,53%). Sedangkan untuk Kabupaten lainnya penggunaan tanah kelapa sawit existing memiliki prosentase kecil.




Jika dikaitkan dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau, penggunaan tanah perkebunan kelapa sawit yang sesuai adalah seluas 1.000.987.74 hektar dan yang tidak sesuai seluas 508.915.12 hektar. Penggunaan tanah perkebunan kelapa sawit yang dikategorikan paling sesuai terhadap fungsi kawasan dalam RTRW provinsi terdapat di kabupaten Indragiri Hilir (91.99 %).

Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut. Kabupaten Indragiri Hilir dapat dikategorikan paling sesuai dalam penggunaan tanah (kelapa sawit) existing terhadap RTRW, dan dengan prosentase kesesuaian dibawah 50% adalah Kabupaten Bengkalis (39,96%), Kota Pekan Baru (33%) dan Kabupaten Siak (47,88%).

Tabel 1. Kesesuaian Kelapa Sawit Existing Terhadap RTRW
No. KABUPATEN SESUAI Persentase (%) TIDAK SESUAI Persentase (%) Luas (ha) Persentase (%)
1 BENGKALIS 7.457,12 39,96 11.205,54 60,04 18.662,66 1,23
2 INDRAGIRI HILIR 62.119,27 91,99 5.405,44 8,01 67.524,70 4,46
3 INDRAGIRI HULU 75.170,92 68,07 35.267,27 31,93 110.438,18 7,29
4 KAMPAR 311.737,90 67,07 153.090,97 32,93 464.828,87 30,68
5 KOTA PEKAN BARU 4.082,67 33,00 8.289,39 67,00 12.372,06 0,82
6 KUANTAN SINGINGI 41.102,67 58,27 29.430,14 41,73 70.532,81 4,66
7 PELALAWAN 218.290,69 82,18 47.346,66 17,82 265.637,34 17,53
8 ROKAN HILIR 63.386,82 72,15 24.472,01 27,85 87.858,83 5,80
9 ROKAN HULU 94.479,59 63,25 54.889,06 36,75 149.368,66 9,86
10 SIAK 128.160,10 47,88 139.518,65 52,12 267.678,75 17,67
Jumlah 1.005.987,74 508.915,12 1.514.902,86 100,00

Dari hasil perbandingan kondisi penggunaan tanah perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi kawasan sesuai RTRW Provinsi diperoleh tingkat kesesuaian seluas 1.005.987.74 hektar. Ditinjau dari aspek penguasaan tanah, dari luas yang sesuai (1.005.987,74 hektar) ternyata hanya seluas 754.283 hektar yang memiliki status tanah hak Guna Usaha (HGU) dan 251.704 hektar dengan status tanah non HGU.

Adapun komposisi penggunaan tanah perkebunan kelapa sawit di setiap Kabupaten/Kota se provinsi Riau pada penguasaan tanah skala besar dapat dilihat pada grafik berikut. Luas perkebunan kelapa sawit terbesar terdapat di Kabupaten Kampar (26,54%). Berturut-turut luas perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan (23,93%), Kabupaten Siak (12,06%), Kabupaten Indragiri Hulu (9,30%), Kabupaten Rokan Hulu (9,05%), Kabupaten Indragiri Hilir (7,33%), Kabupaten Rokan Hilir (6,63%), Kabupaten Kuantan Singingi (4,50%), Kabupaten Bengkalis (0,49%). Sedangkan luas perkebunan kelapa sawit terkecil pada penguasaan tanah skala besar adalah di Kota Pekan Baru (0,17%).




B. Pengembangan Klaster Industri Perkebunan Sawit

Dalam rangka meningkatkan daya saing nasional, klaster industri dapat dilihat sebagai kelompok industri inti yang terkonsentrasi secara regional maupun global yang saling berhubungan atau berinteraksi sosial secara dinamis, baik dengan industri terkait, industri pendukung maupun jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait dalam meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan mendorong tercipta keunggulan kompetitif.

Dalam kaitan dengan penunjukkan klaster industri hilir kelapa sawit di provinsi Riau, keberadaan klaster ini dapat dilihat dari perspektif pengembangan kawasan andalan untuk perkebunan, yaitu
 kawasan andalan Pekanbaru dan sekitarnya,
 kawasan Duri-Dumai dan sekitarnya,
 kawasan Rengat,
 kawasan Kuala Enok-Teluk Kuantan-Pangkalan Kerinci,
 kawasan Ujung Batu-Bagan Batu.

Dukungan terhadap klaster ini dapat dilihat dari perspektif pengembangan pelabuhan sebagai simbol transportasi laut nasional dan internasional yaitu pelabuhan internasional di Dumai dan pelabuhan nasional di Kuala Enok serta indikasi program lima tahunan untuk usulan program utama rehabilitasi dan pengembangan kawasan andalan untuk sektor perkebunan 2007-2027 (lampiran PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang wilayah nasional)

Usulan Pemerintah Provinsi Riau kepada Presiden Republik Indonesia untuk menunjuk dan menetapkan Riau Sebagai Pusat Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit telah didukung oleh beberapa ketentuan peraturan perundangan terkait sektor perkebunan industri, dan tata ruang wilayah nasional. Keberadaan klaster industri sudah diatur melalui Perpres No.28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, Kepres Kawasan Industri No 6 tahun 1996 dan PP No.26 tahun 2008.

Dalam kaitannya dengan Tata Ruang, Kawasan Pusat Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit yang sudah masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Tahun 2002 adalah Kawasan Industri Dumai di kota Dumai yaitu seluas 290 hektar sedangkan untuk dua lokasi lainnya seperti Kuala Enok dikabupaten Indragiri Hilir seluas 858 hektar dan Buton dikabupaten Siak seluas 5.857 hektar belum dimasukkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Provinsi Riau sehingga Pusat Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit tersebut belum diplotkan ke dalam peta RTRWP Provinsi Riau. Perlu revisi RTRWP Provinsi Riau dalam kaitannya untuk memasukkan kegiatan Pusat Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit ke dalam RTRWP Provinsi Riau yang akan diperdakan.

Tabel 2. Arahan Lokasi Kawasan Industri Dalam Rangka Pengembangan Klaster Perkebunan Kelapa Sawit di Riau

No Kawasan Industri Luas (Ha) Pencadangan Selisih
(Ha) Keterangan
1 Buton 5.857 4.450 - 1.407
2 Kuala Enok 858 62.752 61.894
3 Dumai 290 295,2 5,2 Sesuai RTRW Prov Riau tahun 2002
Jumlah 7.005 11.020,4


Keterangan :
1. Rencana kawasan industri sesuai arahan Pemda Kabupaten Siak, Indragiri Hilir, Kota Dumai adalah seluas 7.005 Hektar
2. Ketersediaan tanah sesuai analisa penggunaan tanah non budi daya, RTRW non lindung dan kawasan hutan produksi konversi adalah seluas 11.020. 4 hektar
3. Selisih luas kawasan industri antara arahan Pemda dengan ketersediaan tanah adalah seluas 1.407 hektar


C. Tinjauan Aspek Pertanahan dalam Pengembangan Klaster Industri Perkebunan Kelapa Sawit

Ditinjau dari aspek penguasaan tanah, perkebunan kelapa sawit eksisting yang sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW Provinsi Riau telah memiliki status tanah Hak Guna Usaha seluas 754.283 hektar dan seluas 251.704 hektar dengan status tanah non HGU. Ditinjau dari aspek ketersediaan tanah sesuai analisa penggunaan tanah non budi daya, kesesuaian dengan arahan fungsi non lindung pada RTRW dan overlay terhadap kawasan hutan produksi konversi diperoleh areal pencadangan tanah perkebunan kelapa sawit seluas 11.020. 4 hektar

Keberadaan klaster industri perkebunan kelapa sawit yang telah diarahkan Gubernur Riau ke lokasi kawasan industri Dumai, Buton dan Kuala Enok ditinjau dari aspek penatagunaan tanah sudah cukup memadai karena memperhatikan aspek penguasaan tanah dan aspek ketersediaan tanah.

Untuk maksud tersebut, bagi setiap rencana kawasan industri yang akan mendukung keberadaan klaster perlu mendapat penetapan dan ijin lokasi terlebih dahulu dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, dukungan pertimbangan pertanahan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pemberian ijin lokasi untuk memastikan kondisi fisik, sosial dan yuridis dari setiap lokasi kawasan industri. Semua pihak, baik pemerintah maupun perusahaan yang akan membangun dalam kawasan industri tersebut dapat diberikan sertipikat tanah induk maupun klaster sesuai ketentuan perundangan yang ada, termasuk dalam hal pengaturan luas tanah yang dimohon, jenis hak yang akan diberikan, serta hak dan kewajiban lainnya.

KAJIAN PENATAGUNAAN TANAH TERHADAP UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG ( UU NO 26 TAHUN 2007)

KAJIAN PENATAGUNAAN TANAH TERHADAP UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG ( UU NO 26 TAHUN 2007)

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. (BAB 1 :Pasal 1)

Tujuan pengaturan :

Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan (Pasal 3) :

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.( Pasal 4)

(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.

(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya.

(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.

(4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.

(5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang

(6) kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.(Pasal 5)

Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik pemanfaatan ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi.dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air dan penatagunaan udara

(1) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain.

(2) Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain.

(3) Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah. (Pasal 33)

(4) Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya. (Penjelasan pasal 33)

Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain, antara lain, adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain melalui pengaturan yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. (Pasal 33 ayat 1)

Kegiatan penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain meliputi:

a. penyajian neraca perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya air, udara, dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah;

b. penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya air, udara, dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah; dan

c. penyajian ketersediaan tanah, sumber daya air, udara, dan sumber daya alam lain dan penetapan prioritas penyediaannya pada rencana tata ruang wilayah. (Pasal 33 ayat 2)

Dalam penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain, diperhatikan faktor yang mempengaruhi ketersediaannya. Hal ini berarti penyusunan neraca penatagunaan sumber daya air memperhatikan, antara lain, faktor meteorologi, klimatologi, geofisika, dan ketersediaan prasarana sumber daya air, termasuk sistem jaringan drainase dan pengendalian banjir.

Pemanfaatan ruang wilayah (pasal 34):

1. Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.(ayat 1)

2. Ditetapkan kawasan budidaya yang dikendalikan dan kawasan budidaya yang di dorong pengembangannya

3. Pemanfaatan ruang dilaksanakan;

a. Sesuai dengan estándar pelayanan minimal bidang penataan ruang

b. Sesuai dengan estándar kualitas lingkungan

c. Sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup

Pengendalian Pemanfaatan ruang

1. Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.

3. Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

4. Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.

5. Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak.

6. Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.


PP No. 38 TAHUN 2007

Sub Bidang

Pemerintah

BPN - Pusat

BPN - Provinsi

BPN-Kabupaten/Kota

1. Izin Lokasi

Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteri izin lokasi

Penetapan, sosialisasi

sosialisasi

Pemberian izin lokasi lintas provinsi

Pertimbangan teknis pertanahan

Pertimbangan teknis pertanahan

Pembatalan ijin lokasi

Usulan dan pertimbangan pembatalan

Usulan dan pertimbangan pembatalan

Pembinaan, pengendalian dan monitoring

Pembinaan, monitoring

Pembinaan, monitoring

Monitoring ,suvervisi

2. Izin membuka tanah

Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteri izin membuka tanah

Penetapan, sosialisasi

sosialisasi

Pertimbangan teknis pertanahan

Pembinaan, pengendalian dan monitoring

Pembinaan, monitoring

Monitoring ,suvervisi

3. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota

Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteri Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota

Penetapan, sosialisasi

sosialisasi

Menyiapkan data dan informasi :

Peta pola PGT/WTU/ persediaan tanah

- rapat koordinasi

Pembinaan, pengendalian dan monitoring

Pembinaan, monitoring

Posting Perdana MP

Hai Bloggers. Ini adalah posting perdana ku. di blog ini aku akan memberi informasi seputar perizinan dan tata ruang. Enjoy !